Friday, February 7, 2014

Kampung China di Aceh Itu Bernama Peunayong

Kampung China di Aceh Itu Bernama Peunayong
Agus Setyadi - detikNews

Banda Aceh - Suara tabuh gendang menggema. Sorak riuh penonton pecah ketika tiga barongsai berdiri tepat di tengah penonton. Ada barongsai merah jambu, biru dan kuning meliuk-liuk mengikuti tabuhan gendang. Aksi barong ini mengundang decak kagum warga yang hadir.

Siang itu, ketiga barongsai tampil untuk memeriahkan perayaan tahun baru Imlek 2565 di belakang Vihara Sakyamunni Banda Aceh. Dengan lincah mereka meliuk-liuk di atas meja dan kursi. Barongsai merah jambu yang tampil pertama mampu mengambil semua jeruk yang terletak di depan vihara.

Usai barongsai pertama tampil, kemudian giliran barongsai kuning dan biru yang meliuk-liuk di depan penonton. Setelah menunjukkan aksinya beberapa saat, tepukan tangan penonton membahana. Mereka tersenyum dan pada akhirnya memberikan angpau kepada ketiga barong tersebut.

"Penampilan barongsai ini untuk menghibur warga," kata Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh Kho Khie Siong, Jumat (31/1/2014).

Pementasan barongsai itu menandakan jalinan persaudaraan dan toleransi yang kental di Peunayong, yang menjadi pecinannya di Aceh. Di kota yang terletak di pinggir Krueng Aceh itu, hidup beragam etnis dengan beragam agama dan kepercayaan. Belum pernah terdengar ada kericuhan antarumat beragama di sini.

Di dekat Vihara Buddha Sakyamuni terdapat dua vihara lainnya, yaitu Maitri dan Dewi Samudera. Ketiga vihara ini berdampingan dengan Gereja Protestan Indonesia bagian Barat. Di dekatnya lagi ada Gereja Methodist. Lalu, tak jauh dari situ, di ujung Jalan Panglima Polem berdiri megah sebuah masjid.

Hubungan antara Aceh dan China telah terjalin sejak abad ke 17 M. Saat itu para pedagang dari China silih berganti datang ke Aceh. Mereka ada pedagang musiman dan ada juga yang permanen.

Mereka tinggal di perkampungan China di ujung kota dekat pelabuhan. Rumah mereka berdekatan satu sama lainnya. Lokasi yang dulu digunakan etnis China sebagai tempat menurunkan barang sebelum didistribusikan kini dikenal dengan nama Peunayong.

Kata Peunayong sendiri berasal dari kata peu dan payong yang berarti memayungi, melindungi. Dalam sebuah hikayat disebutkan, Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok.

"Hubungan China dan Aceh memasuki masa harmonis ketika Laksamana Cheng Ho bermuhibah ke Kerajaan Samudera Pasai di utara Aceh pada 1415," tulis A. Rani Usman dalam bukunya berjudul Etnis Cina Perantauan di Aceh.

Dalam buku itu, Rani menulis, fase ketiga kedatangan warga Tiongkok ke Aceh terjadi pada 1875. Migrasi besar-besaran ini terjadi karena dibawa Belanda. Etnis China dipekerjakan sebagai budak di Aceh.

Sifat pekerja keras mengantarkan mereka ke gerbang kesuksesan di bidang niaga. Di Banda Aceh, seperti jamak di negara lain, etnis Tionghoa merupakan pedagang, pengusaha sukses.

Warga China di Banda Aceh merupakan generasi ke-4 atau ke-5 dari buyut mereka yang datang pada abad 19. Mereka adalah suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung, Tiongkok. Mereka belum bercampur dengan suku Kong Hu Cu, Hai Nan, dan Hok Kian.

"Penduduk China paling banyak tinggal di Peunayong," jelas Kho Khie Siong.

Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Banda Aceh melabelkan Peunayong sebagai kampung China. Kota tua yang terletak empat kilometer dari utara Mesjid Raya Baiturrahman ini menyimpan mutiara pemikat hati, mutiara yang akan menjadi magnet bagi wisatawan lokal, nasional, maupun manca negara.

Kehidupan masyarakat etnis China dan suku asli Aceh terbilang harmonis. Mereka bisa bebas bersembahyang di Tapekong (Vihara) dan gererja maupun berniaga di Peunayong. Sebagai bukti masyarakat etnis Tionghoa dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Aceh, di Peunayong berdiri vihara, masjid dan gereja.

Kho yang lahir dan dibesarkan di Aceh ini tidak pernah merasakan adanya tekanan dari masyarakat Aceh saat melaksanakan ibadah. Di Aceh, belum pernah ada keributan antara satu agama dengan agama lainnya.

"Tidak pernah ribut antara agama Islam dengan agama hindu, budha, dan kristen. Tidak pernah," jelas Kho beberapa waktu lalu.

Meskipun Aceh menerapkan syariat Islam, warga etnis Tionghoa tetap bebas melaksanakan ibadah di vihara maupun gereja. Untuk perayaan imlek tahun ini, ribuan warga etnis China melaksanakan ibadah di empat vihara yang ada di Banda Aceh. Mereka terlihat ada yang membakar dupa dan ada juga yang hanya melaksanakan ibadah tanpa membakar dupa.

"Di vihara ini ada sekitar 300 orang yang melaksanakan ibadah," kata ketua Vihara Sakyamuni, Eddy Aminata.

Menurut Eddy, jumlah umat Budis di Banda Aceh mencapai ribuan orang. Namun mayoritasnya yaitu beragama Budha. Keturunan warga China di Aceh, lanjutnya, ada yang beragama Islam, katolik maupun agama lainnya. "Perayaan Imlek ini termasuk dalam agama dan ada juga yang kami sebut sebagai Budha yang lahir hari ini yaitu budha kebahagiaan," jelasnya.

Sementara salah seorang warga Tionghoa, Hendry, mengatakan, ia sudah tinggal di Aceh sejak ia lahir. Masyarakat Aceh dan China saling berkunjung satu sama lain untuk membangun silaturrahmi.

"Kami saling bersilaturrahmi," jelasnya.

Sementara itu, Ketua Vihara Dharma Bhakti Banda Aceh, Herman mengatakan, vihara Dharma Bhakti yang menjadi saksi kehidupan warga China di Aceh awalnya terletak di kawasan Ulee Lheue Banda Aceh. Namun akibat erosi, vihara itu kemudian dipindahkan ke Jalan T Panglima Polem, Peunayong Banda Aceh, Aceh.

"Sekitar tahun 70 vihara ini dipindahkan ke sini," ungkap Herman.

http://news.detik.com/read/2014/01/31/194922/2484137/10/4/kampung-china-di-aceh-itu-bernama-peunayong

Perayaan Imlek di Vihara di Tangerang Berlangsung Kondusif

Perayaan Imlek di Vihara di Tangerang Berlangsung Kondusif
Mei Amelia R - detikNews

Jakarta - Perayaan Imlek di Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, berlangsung di 2 vihara besar. Perayaan di dua vihara tersebut mendapatkan pengamanan ketat dengan menurunkan sebanyak 62 personil gabungan TNI dan Polri.

"Kegiatan hanya melakukan persembahyangan saja, giat ibadah khusus tidak ada," kata Kapolsek Curug Kompol Gatot Hendro kepada detikcom, Jumat (31/1/2014).

Adapun, vihara besar yang ada di Curug yakni Vihara Fajra Bumi Nusantara di Kelurahan Binong dengan Pandita Tasimun dan Vihara Puna Karya di Curug Kulon dengan pandita Pe'ng An.

"Jemaat yang hadir sekitar ratusan orang," imbuhnya.

Kapolres Tangerang Kombes Irfing Jaya memimpin pengamanan di vihara tersebut. Kegiatan yang berlangsung di vihara di Kabupaten sejak pagi hingga sore tadi berlangsung khidmat.

"Sejauh ini kegiatan berlangsung aman dan kondusif," pungkasnya.

http://news.detik.com/read/2014/01/31/180718/2484102/10/perayaan-imlek-di-vihara-di-tangerang-berlangsung-kondusif

Tahun Baru Imlek, Vihara di Kuningan Tidak Terlalu Ramai

Tahun Baru Imlek, Vihara di Kuningan Tidak Terlalu Ramai
Khairur Reza - detikNews

Jakarta - Semarak tahun baru Imlek tampak di Vihara Amurva Bhumi, Jalan Dr Satrio, Kuningan, Jakarta Selatan. Namun hari ini pengunjung tidak terlalu ramai karena masyarakat di hari pertama ini lebih mengutamakan bersilaturahmi.

"Saya kurang tahu juga kenapa sepi. Kalau biasanya, adatnya hari pertama silaturahmi, keliling sanak kerabat. Jadi mungkin ada acaranya di tanggal duanya, besok," kata pengunjung vihara, Tedi (41) saat berbincang dengan wartawan di lokasi, Jumat (31/1/2014).

Meski sepi pengunjung, terlihat semarak Imlek di vihara yang berjarak 200 meter dari jalan utama. Terdapt tenda di pelataran vihara dengan dominasi warna merah. Lampion juga bertebaran di vihara seluas lapangan futsal itu.

Vihara tersebut mempunyai 3 bangunan, satu untuk kantor dan dua bangunan untuk ibadat. Di depan vihara tampak belasan lilin ukuran besar. Meski tidak terlalu ramai tetap setiap ada pergi, selalu ada lagi yang datang. Vihara tersebut menganut aliran Mahayana.

"Di sini tuan rumahnya Dewa Amurva Bhumi atau Dewa Kemakmuran. Makanya yang datang ke sini banyak pedagang, kalau dibahas Chinanya Kok Tek Tjeng Sin," ujar Tedi.

"Mengapa memilih ibadah di sini?" tanya wartawan.

"Saya lebih senang di sini, lebih cocok," jawab Tedi.

http://news.detik.com/read/2014/01/31/143701/2484009/10/tahun-baru-imlek-vihara-di-kuningan-tidak-terlalu-ramai

Vihara Target Teroris Dapat Pengamanan Ekstra pada Imlek 2014

Vihara Target Teroris Dapat Pengamanan Ekstra pada Imlek 2014
Mei Amelia R - detikNews

Jakarta - Polda Metro Jaya menyiapkan kekuatan untuk mengamankan perayaan Imlek 2014, tanggal 31 Januari besok. Khusus untuk vihara-vihara yang menjadi target teroris kelompok Dayat Kacamata yang disergap akhir tahun 2013 lalu, mendapatkan pengamanan ekstra.

"Pengalaman tahun-tahun lalu, suasananya kondusif, ke depan juga diharapkan berlangsung aman. Ada beberapa atensi, tahun lalu ada pengeboman di Vihara Ekayana itu juga jadi perhatian khusus," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto, Kamis (30/1/2014).

Rikwanto mengatakan, pihaknya akan melakukan sterilisasi pengunjung untuk mengantisipasi adanya teror.

"Manakala dapat informasi harus dilakukan (sterilisasi), kita lakukan pengamanan ekstra, digeledah dengan terlebih dahulu komunikasi dengan pamdal-nya," kata Rikwanto.

Untuk pengamanan Imlek ini, total ada 2.400 personel Polsek dan Polres jajaran Polda Metro Jaya. Personel disebarkan ke tempat-tempat ibadah dan tempat keramaian yang menjadi pusat perayaan.

"Dalam prosesnya polres dan polsek mendata di mana tempatnya ada vihara atau gedung untuk ibadah dan tempat-tempat yang jadi perayaan. Tempat keramaian seperti Ancol, mal, TMII juga diamankan," jelasnya.


Ikuti berbagai informasi menarik hari ini di "Reportase Sore" Trans TV pukul 16.30 WIB

http://news.detik.com/read/2014/01/30/115802/2483000/10/vihara-target-teroris-dapat-pengamanan-ekstra-pada-imlek-2014

Harapan Ahok Saat Imlek: Ingin Jadi Presiden He..he..he..

Harapan Ahok Saat Imlek: Ingin Jadi Presiden He..he..he..

Ayunda W. Savitri - detikNews


Jakarta - Jelang Imlek, Wagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mempersiapkan angpao untuk keluarga dan kerabat. Tak lupa, Ahok pun juga punya harapan bagi diri sendiri di Imlek tahun ini. Apa itu?


"Saya ingin jadi presiden, hehehe," canda Ahok saat ditanya wartawan soal harapannya jelang Imlek tahun ini pada tanggal 31 Januari 2014 nanti.


Hal itu dikatakan Ahok di Balai Kota, Jl Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (29/1/2014). Saat itu, mantan Bupati Belitung Timur itu juga berharap presiden mendatang adalah presiden yang taat pada aturan yang telah ditetapkan.


"Harapannya kaita bisa punya presiden yang taat pada konstituen," kata Ahok sembari masuk ke mobilnya dan pulang.


Saat Imlek nanti Ahok tidak akan menggelar open house di rumahnya. Dia akan pergi mengunjungi saudara-saudaranya dan membagi angpao.


http://news.detik.com/read/2014/01/29/183205/2482491/10/harapan-ahok-saat-imlek-ingin-jadi-presiden-hehehe

Penghapusan Nama Tokoh Tionghoa dalam Sejarah

Penghapusan Nama Tokoh Tionghoa dalam Sejarah

Didi Kwartanada - detikNews


Jakarta - Ketika mulai terdesak dalam Perang Dunia II, pemerintah pendudukan Jepang di Jawa sejak 1944 lebih melonggarkan pengawasan politiknya dan memberikan ruang yang lebih luas bagi bangsa Indonesia untuk mengekspresikan aspirasinya terkait pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso mengumumkan bahwa daerah Hindia Timur (Indonesia) diperkenankan merdeka kelak di kemudian hari. 


Penguasa Jepang di Jawa, Letnan Jenderal Kumakichi Harada, pada 1 Maret 1945 mengumumkan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Susunan pengurusnya terdiri atas sebuah badan perundingan dan kantor tata usaha. Badan ini terdiri dari seorang Kaicho (Ketua), 2 orang Fuku Kaicho (Ketua Muda), 60 orang Iin (anggota), termasuk empat orang golongan Tionghoa, serta masing-masing 1 orang dari golongan Arab serta peranakan Belanda. Keempat tokoh Tionghoa tersebut adalah: Liem Koen Hian yang pada tahun itu berusia 38 tahun, Oey Tiang Tjoei (52), Oei Tjong Hauw (41), MR Tan Eng Hoa (38), sedangkan wakil dari golongan Arab adalah ARBaswedan, peranakan Belanda PF Dahler. 


Tugas BPUPKI adalah merumuskan undang-undang dasar, yang diawali dengan pembahasan mengenai dasar negara yang akan didirikan nanti. Dengan kata lain, BPUPKI memainkan peranan yang sangat penting, karena mempersiapkan dasar-dasar bagi pendirian negara kita ini. 


Keterlibatan keempat tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI itu termuat di dalam 'Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945 Djilid Pertama' karya Prof. MR Muhammad Yamin (1959, cetak ulang 1971). Di halaman 61 diberikan “Peta tempat doedoek persidangan” BPUPKI. Di sana nampak jelas nomor kursi beserta nama-nama tokohnya: Oey Tiang Tjoei (#13), Oei Tjong Hauw (#15), Liem Koen Hian (#32); dan MR Tan Eng Hoa (#38). Yamin juga menyertakan notulen pidato-pidato dari keempat tokoh tersebut. 


Beberapa tahun kemudian Sekretariat Negara secara resmi menerbitkan notulen persidangan BPUPKI dalam Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 29 Mei 1945-19 Agustus 1945, dengan tim penyunting yang terdiri dari Saafroedin Bahar, Nannie Hudawati Sinaga dan Ananda B Kusuma. Karya ini mengalamai revisi isinya, dengan adanya tambahan dan pengurangan: edisi I (1980); edisi II (1992), edisi III (1995) dan terakhir, edisi IV (1998). Di buku ini, Ananda Kusuma menyusun “Biodata anggota BPUPKI”, lengkap dengan foto mereka masing-masing, termasuk pula biodata dan foto keempat anggota Tionghoa (walau tidak lengkap datanya). 


Namun ketika membuka buku-buku acuan utama penulisan sejarah nasional Indonesia, kami terkejut karena tidak ada satu pun disebutkan tokoh Tionghoa di dalam BPUPKI! Yang ada adalah empat orang Arab dan satu peranakan (Indo) Belanda. Ketika buku Sejarah Nasional Indonesia (SNI) terbit pertama kali, 1975, di sana masih disebutkan: “empat orang golongan Cina dan golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.” Namun kalimat ini tidak jelas, karena empat orang yang disebutkan di sana mengacu pada Tionghoa dan Arab. Semestinya kalimat berbunyi: “empat orang golongan Cina dan seorang golongan Arab serta seorang golongan peranakan Belanda.” 


Keanehan kami jumpai di dalam SNI edisi ke-4 (1984) ketika kalimat di atas mulai berubah menjadi “empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda.” Menariknya, dari edisi pertama (1975) hingga keempat (1984) posisi editor SNI Jilid 6 (Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia) yang bermasalah ini dijabat Brigjen TNI Dr Nugroho Notosusanto. Dia sejarawan yang pernah menjabat Kepala Pusat Sejarah ABRI dan kemudian sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-wafat di tahun 1985). Dia banyak menimbulkan kontroversi, terkait tuduhan “deSukarnoisasi” dan juga pembuatan film “Pengkhianatan G30S/PKI” yang merupakan versi resmi Orba atas peristiwa tersebut.


Sepeninggal Nugroho, tugas merevisi SNI dilanjutkan oleh sejarawan Dr Anhar Gonggong dalam wujud SNI 1993. Tapi buku ini tidak mengoreksi, bahkan “melanjutkan” apa yang tertulis dalam edisi sebelumnya. Memasuki masa Reformasi, dalam buku SNI Edisi Pemutakhiran dan buku 'Indonesia dalam Arus Sejarah' pun keempat tokoh Tionghoa tadi masih ‘diasingkan” dari BPUPKI. 


Sarjana pertama yang menemukan adanya kesalahan fakta tersebut adalah RM Ananda B Kusuma, dosen Sejarah Ketatanegaraan dan Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas Hukum, Universitas Indonesia. Selain BPUPKI, di masa Orde Baru, catatan sejarah tentang kasus kolaborasi Tionghoa-Jawa melawan VOC (1740-743), yang dikenal sebagai “Geger Pacinan” pun hilang. Padahal di masa Soekarno kisah ini muncul di dalam buku pelajaran. 


Kontribusi di BPUPKI 


Dua dari keempat tokoh BPUPKI, Liem Koen Hian dan Mr Tan Eng Hoa telah memberikan kontribusinya bagi bangsa dan republik ini. Liem bersuara paling keras agar golongan peranakan Tionghoa di Republik ini secara otomatis dijadikan warga negara seperti disampaikan dalam sidang kedua, 11 Juli 1945. Merujuk disertasi doktor Wikrama Iryans Abidin, Liem juga mengusulkan perlunya jaminan kemerdekaan pers dicantumkan dalam Rancangan UUD BPUPKI, 15 Juli 1945. 


Usul itu didukung Mohammad Hatta agar pers punya kekuatan mengawasi penguasa dan warga negara tidak takut menyampaikan kritik pada penguasa. Tapi Soepomo dan kawan kawan menolak dengan alasan gagasan tersebut terkait paham individualisme yang melahirkan liberalisme-kapitalisme-kolonialisme, sedangkan paham yang dianut bangsa Indonesia adalah paham kolektif-kekeluargaan. 


Sementara Mr Tan, seperti ditulis Gatra, 29 Agustus 2012, menulis dalam sidang 14 Juli 1945, Soepomo mengatakan bahwa Tan Eng Hoa mengusulkan ayat 3 Pasal 27, yakni: "Hukum yang menetapkan kemerdekaan berserikat, berkumpul dan sebagainya" dijadikan sebagai pasal tersendiri. Dari usulan Tan Eng Hoa ini, tercipta Pasal 28 UUD 1945 yang kini dikenal sebagai pasal kebebasan berserikat. 


Selain itu, dalam buku 'Lahirnya Undang-undang Dasar 1945', yang disusun ABKusuma (2004: 183), sosok Tan disebutkan sebagai anggota BPUPKI yang mendukung ide republik menjadi bentuk negara (Pratisto. 2012: 110-112). 


*) Didi Kwartanada menempuh pendidikan di Jurusan Sejarah, Universitas Gadjah Mada dan di Departemen Sejarah, Universitas Nasional Singapura (NUS), Bekerja di Yayasan Nabil, Jakarta.


http://news.detik.com/read/2014/02/04/182716/2487284/103/2/penghapusan-nama-tokoh-tionghoa-dalam-sejarah